Bagaimana Maskulinitas Membungkam Penyintas Laki-laki
Bukan hanya karena “toxic masculinity”. Tapi dari awal, maskulinitas itu sendiri sudah problematik.
Pemberitaan mengenai penyintas laki-laki masih sayup-sayup terdengar di telinga. Bukan karena tidak ada, namun secara jumlah, kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki dewasa memang tidak sebanyak kelompok rentan seperti halnya perempuan dan anak.
Di tahun 2019, Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) melakukan survei mengenai kasus pelecehan seksual di ruang publik yang melibatkan 62.224 responden. KRPA menemukan fakta bahwa 1 dari 10 (11%) laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Selain itu, ada juga pemberitaan kalau ternyata pelecehan seksual kerap menimpa pengemudi ojek online. Belum lagi ditambah dengan kasus Reynhard Sinaga dan Gilang “Bungkus” yang sempat geger karena melibatkan puluhan penyintas laki-laki.
Beberapa kasus di atas hanyalah segelintir temuan dari fenomena gunung es kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki. Apabila mempertimbangkan fakta bahwa penyintas laki-laki masih kesulitan dan takut untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya, maka angkanya bisa jadi dua atau tiga kali lipat lebih tinggi. Sisi terangnya, diskusi mengenai penyintas laki-laki mulai naik ke permukaan dan hangat diperbincangkan.
Bungkamnya penyintas laki-laki, diakibatkan karena masyarakat masih melanggengkan stereotip dan mitos-mitos bahwa laki-laki tidak mungkin menjadi korban. Mereka menganggap, laki-laki yang dilecehkan harus sanggup melawan balik. Atau, laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual hanya terjadi pada laki-laki homoseksual saja (Chapleau et al., 2008). Di Indonesia sendiri, mitos-mitos tersebut masih mendarah daging di dalam produk legal kita. Dapat dilihat dengan jelas bagaimana hukum di Indonesia tidak mengakui adanya kemungkinan pemerkosaan terhadap laki-laki.
Alih-alih membeberkan patriarki sebagai problem utamanya, kita malah terjebak dengan dikotomi seperti halnya istilah “toxic masculinity” yang belakangan ini menyeruak. Seolah-olah, penyintas laki-laki yang bungkam hanya disebabkan karena perangai dari maskulinitas toksik yang diadopsinya.
Dangkal persepsi soal ‘maskulinitas toksik’
Hari ini, kampanye mengenai maskulinitas toksik gencar digembar-gemborkan. Entah di dalam diskusi feminisme atau bukan, istilah toxic masculinity menjadi topik yang sering diberondol khalayak. Senada dengan toxic relationship, maskulinitas toksik memberi nuansa seakan-akan maskulinitas bisa “healthy” dan dijinakan di bawah sistem patriarki.
Polaritas tampilan maskulinitas ini pernah dinarasikan iklan Gillete dengan jargon “The Best Men Can Be”. Bukannya mendapat dukungan karena menyuarakan maskulinitas toksik, justru sebaliknya, jutaan laki-laki yang merasa terancam dan rapuh maskulinitasnya itu malah menolak mentah-mentah kampanye Gillete tersebut. Mereka menuding kampanye itu hanya akal-akalan propaganda feminis, anti-male, dan dianggap seksis terhadap laki-laki.
Selain melihat bagaimana respons jutaan anti-feminis tantrum di internet, dari situ juga, timbul pertanyaan yang tak kalah uniknya: “Bagaimana bisa laki-laki maskulin menolak istilah yang mereka buat sendiri?”
Benar, istilah toxic masculinity tidak pernah lahir dari diskursus feminisme ataupun pergerakan perempuan. Sebaliknya, istilah tersebut dicetuskan melalui Mythopoetic Men’s Movement pada tahun 1980-an di Amerika Serikat. Perlu juga dicatat kalau gerakan ini kurang lebih diisi oleh segerombol laki-laki kulit putih, heteroseksual dari kelas menengah-atas.
Terinspirasi dari buku Iron John, gerakan ini mempromosikan agenda self-help dengan mencampur aduk spiritualitas, mitos dan psikologi yang sepotong-sepotong. Awalnya, gerakan ini merupakan upaya untuk merespons krisis maskulinitas yang dialami laki-laki pasca-perang, yang rentan mengalami krisis identitas, drug abuse, deprivasi, kemiskinan, hingga kasus bunuh diri yang terus-menerus melambung. Mereka juga merasa “terbungkam” suaranya karena gerakan feminis yang dianggap membatasi suara laki-laki di ruang publik pada masa itu.
Men’s Movement ini mengklaim bahwa laki-laki mengalami krisis karena kehilangan “deep masculinity” dalam konteks spiritualnya secara kolektif (Messner, 2000). Makanya, para laki-laki ini perlu kembali ke akar maskulinitas tribal yang menjelma di dalam diri dewa-dewa Yunani. Dengan begitu, laki-laki bisa kembali merebut “kejantanannya” yang hilang akibat industrialisasi dan gerakan feminis yang ada hari ini.
Di samping itu, gerakan tersebut bersikukuh bahwa sifat maskulinitas yang represif, dominan, kompetitif, dan enggan menunjukkan sisi emosional di ruang publik, ternyata bukanlah bentuk “maskulinitas sejati”. Melainkan, itu adalah bentuk dari ketidakdewasaan laki-laki atau yang mereka istilahkan sebagai toxic masculinity (Barton, 2000). Dari sinilah awal kemunculan istilah toxic masculinity.
Ketimbang mempersoalkan patriarki dan relasi kuasa sebagai akar masalah, mereka malah mengaku sebagai gerakan netral, non-politis dan tidak paralel dengan feminisme. Mereka mengklaim kalau tidak ada agenda politis selain ingin memulihkan maskulinitas laki-laki ke akar tribalistiknya, yakni maskulinitas yang didasarkan pada arketip Jungian, misal: seorang raja, patuh terhadap yang lebih tua, bijak, mampu melindungi keluarga, dan merupakan simbol dari kekuasaan.
Kenyataannya, di dalam sistem sosio-kultural yang patriarkis, laki-laki dipaksa untuk kompatibel dengan maskulinitas yang disematkan sebagai identitas mutlaknya. Masyarakat menanam nilai bahwa sebagai manusia yang dilahirkan dengan penis, sejatinya ia haruslah maskulin (Ford, 2012).
Dari sinilah jelas terlihat bagaimana mereka gagal paham memanifestasikan identitas seksual, jenis kelamin dan peran gender. Padahal seks dan gender tidak pernah berjalan beriringan, kecuali apabila ia dipaksakan oleh nilai normatif patriarki. Namun, mereka tetap menggunakan format keluarga patriarki (bapak, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan) sebagai pendekatan utamanya(Connell et, al., 2005).
Selain seksis dan individualistik, gerakan tersebut tidak mengorek pergolakan kekerasan domestik, kekerasan seksual, relasi kuasa, serta opresi di belakang maskulinitas itu sendiri. Konsekuensinya, istilah “toxic masculinity” hanya berkelindan dalam agenda romantisasi heteronormatifitas seolah-olah maskulinitas bisa “dijinakan” di bawah patriarki.
Istilah tersebut juga sangat problematik, karena lahir dari situasi apolitis dan tidak dikondisikan dengan situasi opresi sistemik yang dialami kelompok rentan seperti perempuan dan LGBTQ+.
Mengapa kekerasan seksual bisa terjadi kepada laki-laki
Padahal, persoalan kekerasan seksual terhadap laki-laki bukan hanya supaya laki-laki berani bicara dan kemudian pelakunya bisa dijerat hukum. Melainkan, perspektif peradilan yang mengutamakan perlindungan korbanlah yang seharusnya diprioritaskan. Melainkan, memutus rantai kekerasanlah yang seharusnya menjadi topik pembicaraan.
Sebaliknya, perhatian kita malah cepat-cepat beralih fokus pada bagaimana caranya “menghukum pelaku seberat-beratnya”. Atau, yang sedang tren saat ini seperti: meng-call out pelaku supaya ia menerima hukuman sosial yang adil dan layak. Adil dan layak untuk siapa? Justru, praktik tersebut tak jarang malah menjadi bumerang bagi korban karena tidak mempertimbangkan keamanan dan kesiapan psikologis korban.
Berahi punitif inilah yang memberikan ilusi penyelesaian masalah yang dangkal. Memangnya, ketika hukum sudah melegitimasi kekerasan seksual bisa terjadi pada laki-laki, apakah persoalan kekerasan seksual akan selesai begitu saja?
Sayangnya, skenario tersebut tidak semulus yang diidam-idamkan kita selama ini. Di dalam gelap, kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki banyak ditemukan di dalam penjara dan selama perang (Feron, 2017). Tak jarang, pelaku yang dijebloskan ke dalam penjara malah menjadi korban kekerasan seksual oleh sesama narapidana laki-laki lainnya.
Sama seperti halnya patriarki, maskulinitas sangat hierarkis dan kompetitif dalam mempertahankan relasi kuasanya (Evans, 2005). Ketika seorang laki-laki maskulin menjadi korban kekerasan seksual laki-laki maskulin lainnya, maka ia diasumsikan tidak mampu mempertahankan maskulinitas dan kuasa atas dirinya. Sehingga korban dianggap lazim untuk dilecehkan karena “kalah maskulin” atau “kurang maskulin”. Dengan kata lain, korban dilabeli lebih feminin atau kalah maskulin dibandingkan narapidana lainnya (Osella, 2006).
Pasalnya, ketika sistem pidana dan hukum masih mereplikasi maskulinitas, toksik ataupun tidak, selama masih ada sistem patriarki, maskulinitas akan selalu memberikan potensi adanya kekerasan sebagai hasil dari maskulinitas yang dikontestasikan (Evans, 2005).
Melalui fakta tersebut, diakui secara inklusif melalui jalur legal sekali pun, rasanya belum cukup mampu memutus rantai kekerasan seksual secara mengakar dan sistemik. Sebab permasalahan utamanya adalah maskulinitas dari sistem patriarki yang terus-menerus direproduksi di dalam sistem terkecil kehidupan kita.
Maskulinitas akan selalu membungkam penyintas
Selama ini, maskulinitas terlalu baku dan sempit diartikan. Padahal, maskulinitas sendiri merupakan konsep identitas sosial yang cair pun dinamis (Butler, 1997).
Maskulinitas tidak hanya melekat pada laki-laki heteroseksual secara individual saja. Perempuan secara individual, sistem sosial, dan negara sekalipun mampu mereplikasi maskulinitas secara performatif. Dengan kata lain, siapa pun termasuk individu perempuan bisa mengadopsi maskulinitas dalam konteks sosio-kultural untuk dilegitimasi kekuasaannya.
Selain itu, konsep maskulin dan feminin terkonstruksi di atas kelas sosial, gender, relasi kuasa dan ras, sehingga ia akan selalu adaptif menemukan konstruksi dan standar-standar maskulinitas baru yang relevan di sistem patriarki yang ada. (Hooks, 1981).
Bagaimanapun juga, maskulinitas menjadi format politis untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan di dalam sistem sosial-politik saat ini. Bukan hanya di penjara, di ruang publik dan domestik juga laki-laki kerap menjadi korban kekerasan seksual karena dianggap lemah, dan tidak mampu mempertahankan standar maskulin yang dilegitimasi dalam ruang tersebut.
Tanpa maskulinitas, mempertahankan relasi kuasa di sistem sosial, hukum dan “politik maskulin” dianggap sukar. Belum lagi ditambah dengan lanskap media arus utama yang juga maskulin, tentu menjadi sangat mustahil bagi penyintas untuk tidak terjerat stigma. Maka, selama masih ada patriarki, penyintas laki-laki akan selalu dibungkam oleh bentuk-bentuk lain dari maskulinitas secara implisit.
Walaupun nantinya negara memberikan jaminan mekanisme pelaporan kasus kekerasan seksual, selama lembaga penyelenggara masih maskulin dan melibatkan kepolisian yang maskulin juga, maka penyintas akan rentan disalahkan (victim blaming) dan cenderung enggan bicara.
Daripada terjebak dalam ilusi kronik toxic masculinity, kita harus mulai mengakui bahwa maskulinitas itu sendiri problematik. Istilah toxic masculinity seharusnya tidak lagi digunakan dalam menggambarkan akar masalah dari bungkamnya penyintas laki-laki. Selain reduksionis, istilah tersebut terlalu menggiring wacana menjadi sentris hanya pada laki-laki cis-heteroseksual.
Bukan hanya laki-laki, kelompok yang paling dirugikan patriarki — perempuan yang difasilitasi oleh hukum sekali pun — masih enggan melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya. Kenyataannya, perempuan masih menjadi kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual akibat adanya ketimpangan gender. Tentu saja ini tidak menihilkan fakta bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual. Dari sini, jelas melegitimasi bagaimana relasi kuasa yang timpang menjadi akar masalah dari gap yang nantinya berpotensi menjadi bentuk-bentuk kekerasan.
Dan lagi-lagi, ketimpangan tersebut ada karena produksi biner sistem patriarki yang selama ini telah mengopresi dan mengeksklusikan kelompok rentan. Maskulinitas menjadi simbol kuasa dan selalu diposisikan superior di dalam sistem patriarki. Superioritas tersebut juga menjelma dalam persepsi ekonomi dalam konteks menafkahi, misal. Kendati maskulinitas masih dilegitimasi dalam peran gender tersebut, relasi kuasa yang timpang akan selalu menimbulkan adanya potensi kekerasan.
Menghapus patriarki tentu saja bukan hal yang utopis. Setidaknya, kita bisa mulai untuk tidak mereproduksi nilai-nilai patriarkis dalam sistem terkecil kehidupan kita. Dimulai dari komunitas, kolektif, ruang aman yang hendak kita ciptakan, serta ruang-ruang kecil yang bisa kita jangkau di keseharian kita. Ruang-ruang kecil yang tidak perlu ada patriarki untuk tetap bertahan hidup.
Melalui pemahaman akar masalah kekerasan seksual yang tepat, kita tidak perlu lagi terenyak dalam istilah toxic masculinity yang masih mengamini patriarki. Sehingga diskusi mengenai isu kekerasan seksual tidak lagi dibatasi ruang-ruang heteronormatifitas yang biner, dan kemudian bisa lebih komprehensif dalam memahami persoalan kekerasan seksual. Bukan hanya untuk laki-laki, melainkan untuk semua penyintas yang perlu ruang aman dan keadilan yang lebih transformatif. Keadilan yang tidak lagi mereproduksi bentuk-bentuk kekerasan sekecil apa pun. Kemudian, kita bisa secara kolektif menyediakan ruang aman non-heteronormatif di luar instrumen negara yang masih opresif.
Referensi:
- Barton, E.R. (2000). “Mythopoetic Perspectives of Men’s Healing Work: An Anthology for Therapists and Others”.
- Butler, Judith (1997) ‘Performative acts and gender constitution: An essay in phenomenology and feminist theory’, in Conboy, K., Medina, N. and Stanbury, S. (eds) Writing on the Body: Female Embodiment and Feminist Theory, New York: Columbia University Press, pp. 401–17.
- Chapleau KM, Oswald DL, Russell BL. (2008). “Male Rape Myths: The Role of Gender, Violence, and Sexism”. Journal of Interpersonal Violence. 2008;23(5):600–615. doi:10.1177/0886260507313529
- Connell, R. W. (2007). “A whole new world”. Masculinities (2nd ed.). Cambridge, UK: Polity. pp. 120–142
- Evans, Rhys (2005) ‘’You questioning my manhood, boy?’: using work to play with gender roles in a regime of male skilled-labour’, in Hoven, B. v. and Hörschelmann, K. (eds) Spaces of Masculinities, London: Routledge, pp. 193–204.
- Féron, Élise. (2017). “Wartime Sexual Violence Against Men”. European Review of International Studies Vol. 4, №1 , pp. 60–74
- Ford, M., Lyons, L. (2012). “Introduction: Men and Masculinities in Southeast Asia”. In Michele Ford and Lenore Lyons (Eds.), Men and Masculinities in Southeast Asia, (pp. 1–19). London and New York: Routledge.
- Hooks, Bell. (1981). “Ain’t I a woman: Black women and feminism”, Boston: South End Press.
- Lawrence, Meg. (2018). “Men cannot be raped: the systematic silencing of male victims of sexual violence in conflict”. Global Campus Europe (EMA) theses 2016/2017
- Osella, Caroline and Filippo Osella. (2006). “Men and Masculinities in South India”, London: Anthem Press.