Kisruh Meng‘uang’kan Kumuh

Menguak kroni, dan utak-atik politik ruang

Danu.
9 min readJan 21, 2020

Bagi mereka yang tinggal di Bandung, mondar-mandir di sepanjang Jalan Layang Pasupati bukan lagi hal yang bisa dinikmati. Jangan tanya soal suasana hati, sekarang, lewat Pasupati gak pernah seasri apa yang dibilang sama Fiersa Besari.

Faktanya, gak sedikit yang memprotes bagaimana Bandung hari ini: macet, banjir, dan “kumuh”. Seperti kata seorang teman ketika gak sengaja kejebak macet di sekitaran Pasupati, “Bandung bagus. Tapi, sayang, tengah kotanya kok masih kumuh.”

Sumber: dokumentasi Balukarna.

Keresahan itu gak cuma berbuah keluh-kesah. Bagi buruh berkerah kelas menengah, kota yang ciamik dan “e s t e t i k” bisa jadi sebuah nilai tambah.

Bukan cuma kepingin punya kota yang nyaman dan indah, terkadang, tinggal di kota besar bikin kita jadi lebih mudah buat pansos sambil jilat ludah. Selain bisa pede jadi sekrup kapitalis yang ambisius, juga bisa nyambil jadi hipster pujaan anak Twitter .

Sialnya, Pemerintah gak mau kalah pansos. Program “Kota Tanpa Kumuh” yang jadi salah satu produk Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun 2015–2019, membuktikan kalau negara kita gak kalah hipster. Pengentasan pemukiman kumuh hingga 0% menjadi celoteh yang kosong nan ambisius. Kota Bandung menjadi salah satu kota yang diuntungkan dari wacana program tersebut. Katanya sih, semakin hipster dan rapih sebuah kota, semakin ngedatengin banyak investasi dan laju ekonomi mikro. Iya gitu? Sialnya, ketika diminta definisiin kumuh, cuma jelimet di istilah-istilah yang menjelatakan dengan niat meminggirkan warganya sendiri.

Di balik gemerlap kota dan kesibukan konsumerisme urban, akan selalu ada permukiman kumuh di pinggiran atau di tengah-tengahnya. Jangan tanya, situasinya kontras banget kalau dibandingin sama taman-taman tematik yang dibangun dan dirawat sama Pemerintah Kota Bandung.

Dengan obsesi Kota Tanpa Kumuh yang udah mendekati deadline, 12 Desember 2019 menjadi saksi bagaimana ruang hidup warga RW 11 Tamansari yang cuma beberapa meter jaraknya dari Pasupati terpaksa menjadi korban penggusuran paksa oleh Pemerintah Kota Bandung. Itu cuma satu dari ratusan proyek penggusuran paksa Pemerintah demi menjalankan moda infrastruktur jangka menengah.

Dalam melihat permasalahan kumuh, rasanya kita masih tebang pilih tanpa melihat konteks sebenarnya. Sampai sekarang, perencanaan kota padat penduduk masih mentingin keyakinan individu kelas menengah dan elit yang dililit kepentingan profit. Sebaliknya, kelompok individu yang hidup di atas kumuh tengah kota didiskriminasi dan harus rela tersingkir oleh kepentingan politik pemodal. Hingga akhirnya kehilangan ruang tinggal.

Lagi-lagi, yang punya uanglah yang berhak menguangkan ruang kumuh. Lagi-lagi, Pemerintah berpihak pada agama yang menuhankan pertumbuhan dan keuntungan. Kalau emang gitu faktanya, apa yang bisa kita lakukan?

Sumber: tirto.id

Memang Kenapa Kalau Kumuh?

Kumuh selalu diidentikan dengan kemiskinan. Akui aja, kalau “kumuh” jadi semacam kata yang paling sering dikomersialisasi birokrat, atau anak arsitektur, atau anak teknik sipil. Dan kalau ditanya: “Sebenarnya, pemukiman kumuh teh naon?”, sampai kiamat juga gak akan ada satu orang pun yang ngasih jawaban yang final.

Seperti biasa, dalam mendefinisikan sebuah istilah akan selalu ada lembaga atau orang-orang yang merasa lebih tahu soal apa pun. Misalnya, UN Habitat (2015) bilang kalau kekumuhan itu semacam kondisi di mana suatu lingkungan tinggal punya ciri-ciri seperti; akses buruk terhadap sumber air minum, akses buruk terhadap fasilitas sanitasi, rentannya ketahanan bangunan, dan kurangnya keamanan pada kepemilikan. Kalau UN Habitat kita anggap semacam ‘majelis ulama’ soal kumuh, maka akan selalu ada ulama-ulama di balik sebuah majelis. Kalau kata beberapa ulamanya sih, kumuh merupakan kondisi tempat tinggal yang gak layak. Ditandai akses buruk ke pelayanan dasar individual seperti air dan sanitasi, keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan, juga kualitas hidup yang buruk (Roy et al., 2014).

Definisi di atas, masih melihat kumuh sebagai manifestasi lingkungan fisik yang gak layak. Padahal, dalam memahami kumuh semestinya gak cuma ngelihat kriteria-kriteria infrastruktur ruang hidup tok. Terutama ketika menjawab pertanyaan: kenapa kok bisa ada kumuh di tengah kota kayak Bandung? Atau itu cuma persepsi picik regulator doang?

Buat ngejawab pertanyaan di atas, konteks sosial yang hilang tentang mengapa bisa ada kawasan kumuh pernah dirundingkan beberapa ‘ulama’ global.

Contohnya, di tahun 2018 pada XIX ISA World Congress of Sociology. Mereka nekenin lagi kalau kumuh sebenarnya itu hasil dari bentuk spasial dan fisik ketidakadilan sosial dari kemiskinan perkotaan (urban poverty). Sialnya, pemerintah perkotaan seolah tutup mata soal masyarakat miskin perkotaan dan langsung nyosor kalau kumuh berarti miskin berari gusur berarti rumah deret.

Kalaupun mayoritas orang yang tinggal di kawasan kumuh memang masyarakat miskin perkotaan (urban poor), tapi tetap kita mesti lebih teliti dalam ngelihat dimensi kumuh ini dengan kacamata yang lebih mikro. Misalnya cari tahu identitas dan histori tentang mereka yang tinggal di sana, sekaligus menelusuri kenapa mereka bisa tinggal di sana.

Itu saja sudah cukup menjawab bagaimana sampai hari ini, kita, Pemerintah, hanya fokus dengan infrastruktur sambil sedikit demi sedikit menggeser aspek humaniter yang paling mendasar: rumah sebagai ruang tinggal. Pembiaran terhadap urban poor inilah yang nantinya bakal jadi bom waktu di kemudian hari. Pengentasan kesenjangan ekonomi urban yang menjadi akar permasalahan ‘kumuh’, malah dialihkan ke persoalan tata kota yang cuma mentingin kenyamanan mata. Akhirnya, penggusuran dilanggengkan dengan alasan rekonstruksi modal kapital — supaya untung, supaya tumbuh rasio nilai tambah ekonomi dan kita semua bakal hepi.

Kenyataannya enggak. Ruang tinggal yang seharusnya jadi modal kapital mendasar urban poor, malah direnggut paksa dan mereka harus menanggung beban psikologis dari keganasan dan ketidakpastian Pemerintah.

Selama rumus pembangunan masih berupa akumulasi antara “rasio matematis x ekonomi”, kemiskinan bakal selalu jadi musuh kekuasaan. Dan kalau begitu terus, apapun program Pemerintah Kota dalam pengentasan kumuh, selama enggak mau meneropong lebih jauh ke permasalahan kemiskinan dan mengevaluasi pendekatan utilitarian pemerintah, kalau: kumuh akan selalu ada dan urban poor akan selamanya terjebak kemiskinan.

Mengenai Ruang dan Politik Kumuh

Berahi Pemerintah buat ngatasin kumuh bukan tanpa alasan. Dibandingkan aktivis kemanusiaan di media sosial, ternyata sponsor penggusuran lebih kuat ketimbang yang anti. Tentu, sponsor utama adalah negara dengan ngeluarin produk regulasi pembangunan infrastruktur. Sponsor kedua, ya, entitas bisnis yang nerima proyek untuk ngebangun. Sponsor ketiga, bisa jadi ngebuat mobilisasi modal dan tingkat investasi di sektor urban membanjiri kota yang udah ajek infrastrukturnya. Dan, voila! Akhirnya beberapa tahun kemudian pindah ibu kota.

Melalui perjodohan antara paket regulasi dan ekonomi pembangunan jangka menengah dari zaman SBY sampai Jokowi hari ini, rasanya semakin halal kalau banyak warga negara yang hak tinggalnya terdisrupsi di atas nama pembangunan. Udah gitu tiap kontra dengan logika semacam ini, gak sedikit yang belain dan bilang gini: “Pemerintah seperti ini kan cuma menjalankan fungsi sebagai regulator, ke depannya warga tetep dimukimkan kembali sesuai dengan hak serta kewajibannya. Ribet amat.”

Sayangnya gak sesimpel itu. Kumuh dan urban poor juga punya peran yang penting dalam menopang roda perekonomian urban. Sesimpel kayak menyediakan tenaga kerja murah untuk menempati profesi yang gak mau diisi oleh kelas menengah. Misalnya: warung makan yang terjangkau, supir angkot, cleaning service, serta pekerjaan lainnya yang selalu dianggap remeh-temeh padahal fatal banget kalau misalnya profesi itu gak ada yang mau ngisi. Terus, kalau urban poor direlokasi ke pinggiran kota, maka bakal jadi pe-er tambahan buat nyari pekerjaan baru lagi. Yang ada malah terjerumus menjadi pengangguran.

Rangkaian saling menguntungkan tadi, membentuk sebuah pola ketergantungan transaksional antara kelas menengah dan urban poor. Kalau semisal salah satu dari keduanya diganggu oleh Pemerintah, dengan dipindahkan ke pinggir kota, sumber mata pencaharian yang udah dijalani berpuluh-puluh tahun akan musnah. Dan bukannya diberikan solusi, eh, malah disuruh bayar bulanan rumah deret dengan iming-iming jaminan dan dispensasi. Yang ada, Pemerintah malah menambah beban dan menjebak urban poor ini ke dalam poverty trap.

Giovanni Arrighi & David Harvey (2003) bilang kalau polemik pembangunan gak jauh dari hubungan antara kelompok yang punya kekuasaan dan kelompok yang punya kepentingan buat mereproduksi lokasi kapital atau teritori buat investasi. Nah, logika kayak gini yang sederhananya kita sebut sebagai salah satu bentuk akumulasi kapitalisme. Dimana ruang dan uang jadi kompatibel sehingga bisa membuat faktor produksi buat gandain keuntungan. Tapi kalau pemerintah ikut campur apa masih kapitalisme juga?

Jawabannya bisa ya, bisa enggak.

Saat ini, kata “kapitalisme” jadi diksi yang jahat dan jadi kambing hitam segala problem kesenjangan publik. Memang betul, kok. Tapi kalau ditelaah dengan jeli, penerapan sistem kapitalisme di cakupan ekonomi mikro di Indonesia gak kapital-kapital amat. Kenapa? Di dalam sistem kapitalisme yang murni dan esensial, kapitalisme menempatkan Pemerintah sebagai fungsi admininstratif dan mobilisator kekuasaan agar gak terjadi monopoli dan perampasan paksa terhadap properti individual. Ini sih utopianya kapitalis. Tapi, faktanya sampai hari ini, mau di level global ataupun desa, siapa pun aktor kapitalnya doi bakalan jadi agen monopoli yang sering melakukan penindasan dan perampasan paksa hak individual kelas menengah ke bawah dengan disponsori oleh Pemerintah secara langsung. Dengan begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa kapitalisme ya utopis- utopis juga.

Ilustrasi Hierarki Kroni Kapitalisme

Tapi, kalau kita buka-bukaan lewat kitab kapitalisme, kapitalis semacam Krueger (2002), misalnya, mengistilahkan peristiwa di atas sebagai bentuk crony capitalism. Kroni kapitalisme bisa dibilang hasil dari sistem kapitalisme yang bobrok, dimana kalangan elit (privilege) memanfaatkan fasilitas turunannya (bisalah kita bilang oligarki) buat ngelakuin akumulasi kekayaan melalui jabatan dan kekuasaannya. Jadinya, kita akan selalu menemukan pejabat negara yang jadi pebisnis atau pebisnis jadi presiden. Makanya, jangan kaget kalau segala bentuk kebijakan publik bakalan berpihak sama pejabat yang merangkap jadi pebisnis. Akhirnya investor dan perusahaan besar punya hak istimewa, seperti diliburkan pajaknya (tax holiday) plus dapat penurunan tarif buat menekan faktor produksi. Sebaliknya, urban poor dan pengusaha lokal yang punya usaha jualan seblak, lapakan online, hingga nasi goreng pinggir jalan, malah diusir dan dipaksa bayar pajak. Padahal, kalau liat untung aja udah pas-pasan.

Kroni kapitalisme menggambarkan sumber masalah politik ruang. Ruang jadi modal kapital yang paling dasar buat menciptakan aktivitas produksi yang lebih luas. Itulah kenapa, baik Pemerintah atau pemodal, ruang dan lahan kosong di tengah kota jadi hidangan yang menggiurkan. Pebisnis melalui pemerintah dan aparat keamanan, merasa halal untuk melakukan praktik accumulation by disposession (akumulasi melalui penjarahan).

Lalu, apa bener polemik perampasan hak ini akibat sistem kapitalisme?

Ya, kapitalisme memfasilitasi politisi, pebisnis dan kelompok elit secara sistemik untuk semakin kaya dan berkuasa sehingga punya kemungkinan merepresi individu yang gak berdaya. Semenjak sistem kontrol kekuasaan kita bocor melulu, bakalan ada terjadi power abuse yang bisa memanipulasi kebijakan publik seenak dompet. Saking mewahnya, kapitalisme jadi ruang senggama di antara sifat rakus untuk memiliki properti sekaligus menjadikan pasar sebagai Tuhan baru. Dari situ bakal muncul risiko moral yang merugikan urban poor. Tapi kalau itu jadi surganya kapitalis, ya wajar aja mereka mati-matian buat ngejarnya. Jadinya, ngekafir-kafirin urban poor dengan umpatan “susah diatur” itu gak ada dosanya bagi mereka.

Enggak, karena kapitalisme (katanya, sih) mesti kompatibel dengan sistem demokrasi dan pemerintahan otonomi yang sifatnya desentralisasi. Di atas kertas, demokrasi dan kapitalisme, kedua-duanya hanya istilah untuk menindas dengan cara yang “manusiawi”. Di sisi lain, birokrasi hari ini nunjukin gimana demokrasi cuma jadi click-bait pas pemilu atau pilkada doang. Ketika ada ikut campur Pemerintah di tengah pasar, maka, kasus-kasus seperti di RW 11 Taman Sari gak bisa lagi kita cegah. Pebisnis dan pemodal jadi lebih manja untuk ngejilatin pantat kekuasaan, supaya dijamin keuntungannya. Tapi, ketika rugi, kita-kita yang gak tahu apa-apa jadi ikut menanggung beban. Makanya, bentuk-bentuk kapitalisme yang mencederai hak individu ‘mungkin’ bukan kapitalisme yang sesungguhnya, atau bisa jadi memang begitulah kapitalisme pada praktiknya.

Secermat-cermatnya politisi dan pebisnis mendekorasi kapitalisme, sampai hari ini, tendensi antar kelas semakin terasa dan kita gak bisa berbuat apa-apa soal ini selain jadi seorang kapitalis yang rakus dan hobi memberangus ruang hidup orang lain.

Kumuh, dan Solusinya

Istilah ‘kumuh’ gak lagi dipahami sebagai situasi yang buruk dari kegagalan perencanaan kota padat penduduk. Tapi, ‘kumuh’ justru jadi peluang buat menguangkan ruang di tengah kota. Yang sebelumnya terbengkalai dan cuman jadi ruang tinggal oleh urban poor, saat ini, bisa dijual dan punya kemungkinan buat jadi wilayah perkantoran atau cafe atau bisnis fantastis yang gak ngaruh-ngaruh amat buat kehidupan kita.

Solusi?

Pertama, kita mesti ngekonsepin ulang lagi soal definisi ‘kumuh’ yang masih terjerat agenda fisik liberal. Kalau ‘kumuh’ masih didefinisikan sebagai urusan tata kota dan mata doang, permasalahan kesenjangan urban yang cenderung jadi poin utama masalah kumuh malah akan terabaikan. Hasilnya, urban poor gak akan keluar dari lingkaran kemiskinan dan kumuh bakal tetep ada.

Selain itu, selama pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur masih jadi ‘surganya’ negara, kumuh akan selalu jadi masalah gak berujung akibat transaksi politik antara pemodal dan Pemerintah. Kecuali, kita mau lebih mengotak-atik pendekatan birokrasi dan pembangunan infrastruktur kota. Bukan bikin rumah deret yang malah bikin rudet.

[.]

--

--