Kita Nggak Butuh Berita Baik di Situasi Pandemik
Di skenario Covid-19 kayak gini, optimisme yang berlebihan malah bikin kita jadi kewalahan.
Simpang siur pemberitaan Covid-19 nggak bisa lagi dihindari. Doa-doa simpel kayak, “Semoga hari ini ada kabar baik, berita baik,” senantiasa kita panjatkan demi menjaga kewarasan kita tiap denger kabar buruk di media. Sayang banget, fakta lapangan nunjukin kalau situasi saat ini berangsur-angsur memburuk. Ya, memburuk!
Update terakhir per 18 April 2020, justru total kasus Positif Covid-19 bertambah 325 kasus menjadi 6.248 kasus, belum ditambah korban tenaga medis yang nggak sedikit jumlahnya. Ditambah lagi sama dampak finansial yang makin hari makin memburuk.
Sialnya, asumsi barusan ternyata cuma di kepala saya doang. Ya, ternyata nggak buruk-buruk amat? Bukannya waspada, eh, beberapa malah berduyun-duyun tamasya ke pantai. Ada juga tuh yang pengen ngadain Itjima Dunia 2020 di Gowa, terus jalanan di Bandung masih ramai-ramai aja, dan ternyata gak semua perusahaan bisa nerapin sistem kerja di rumah. Barusan juga, pas banget lagi nulis ini, toa di mesjid deket rumah ngumumin ada 2 korban lansia meninggal positif Covid-19 di RW saya tinggal. Aduh, kayaknya mustahil banget denger berita baik di situasi sekarang.
Tapi, serius deh. Ini orang-orang nggak takut apa gimana ya? Apa berita yang bejibun sama data statistik dari pemerintah kurang nakut-nakutin?
Salah Kaprah Optimisme Pemerintah
Semenjak dr. Terawan nyuruh kita rajin berdoa dan solat istigasah, wacana anti-panik Pemerintah udah mulai bekerja. Bisa jadi, itu strategi komunikasi yang dilakoni beliau buat mereduksi kepanikan yang bakal membludak di masyarakat pasca outbreak 23 Januari lalu. Katanya “Enjoy saja”. Dan bener dong, beberapa kelompok masyarakat sampai sekarang masih enjoy-enjoy aja. Enjoy kelaparan sambil muter otak bayar cicilan karena seret pendapatan.
Bukan cuma dr. Terawan, Mahfud MD juga nitip pesan, katanya “Bahwa pemerintah mengharapkan corona itu diumumkan itu terbuka, iya, tetapi jangan nakut-nakuti”. Persis, Luhut Panjaitan juga gak mau kalah menabur wacana optimisme dengan ngebandingin angka kumulatif korban Covid-19 dengan negara lain.
Baik Pemerintah, media massa sampai buzzer media sosial bahu-membahu ngebuat sentimen dengan konten dan pemberitaan positif di tengah status pandemik. Dengan rasio persentase per 17 Maret sekitar 3,7% Case Fatality Rate, ternyata nggak cukup buat nakut-nakutin kita. Bahkan, pernah pejabat publik dengan jumawa nganggap Covid-19 tidak mematikan. Pejabat publik yang empot-empotan ngebuat wacana anti-panik pun dibenarkan oleh Jokowi melalui wawancaranya di Mata Najwa. Yang lebih cenderung sebagai video klarifikasi.
Kalau dilihat-lihat, pola sahut-sahutan optimisme di kabinet Jokowi dan media massa justru ditangkap ambigu oleh publik. Celakanya, malah jadi bola panas juga di kementrian dan kelompok masyarakat di akar rumput. Kalau nganalisis ungkapan Mahfud MD di atas, mengumumkan secara “terbuka tanpa menakut-nakuti”, itu jadi sebuah padanan kalimat dengan maksud yang mustahil dan nggak kompatibel dengan situasi sekarang. Gimana ceritanya kita bisa ngebuang rasa takut karena kebenaran di tengah pandemik?
Selain itu, nganalisis pakai teori komunikasi usangnya Laswell juga, kita bakal tahu gimana semrawutnya pola komunikasi pemerintah Indonesia buat nanganin Covid-19. Komunikatornya siapa? Mediumnya apa? Ditujukan ke siapa? Nggak jelas banget! Berbanding terbalik sama gestur Perdana Menteri Singapura yang seadanya tanpa retorika yang muluk-muluk.
Parahnya, komunikasi verbal institusi pemerintahan di media massa, sukses, memecah pemaknaan publik soal kewaspadaan terhadap pandemi yang makin hari makin nggak ada obatnya. Terlepas dari Permenkes hingga Perda yang diterbitkan secara formil di beberapa daerah, komunikasi non-formal kayak media sosial lebih mudah diganyam dan cenderung nimbulin banyak miskomunikasi, hoax dan yang paling parah institutional communication desease. Bahasa Orwellian-nya sih: miskomunikasi sektoral.
Fenomena celaka dan salah kaprah institusi Pemerintah ini disebut sebagai skenario functional stupidity. Mats Alvesson & Andre Spicer ngedeskripsiin functional stupidity sebagai skenario manajemen dimana organisasi (di sini Pemerintah) memakai otoritasnya buat nge-hire tokoh/sosok/individu/buzzeRp/selebgram yang dipercaya publik, yang kelihatan professional, pintar, atau lulusan Harvard — untuk memanipulasi proses pengambilan keputusan yang cuma mentingin sentimen dan interpretasi publik yang positif terhadap pemerintah.
Untungnya, pemerintah bisa jadi luwes mengambil keputusan jangka pendek, sambil pelan-pelan ngontrol rasa takut dan kekhawatiran publik. Jeleknya, informasi yang disebarkan oleh institusi nggak koheren dengan fakta lapangan. Akhirnya di akar rumput, publik berdebat dengan publik yang lain, dan penyebaran informasi jadi nggak tepat sasaran. Konsekuensinya, disonansi komunikasi nggak bisa lagi dihindarin. Alhasil, nggak ada satu pun informasi yang dipercaya oleh publik.
Dari sini jelas banget, di mata kita Pemerintah jadi terkesan guyon, sembrono dan meremehkan. Public distrust pun gak bisa lagi diantisipasi. Yang ada, sense of crisis publik jadi defisit. Bukannya takut, malah ikut-ikutan meremehkan.
Ya, bagus dong?
Sama sekali enggak. Tadi pagi aja, tukang bubur pas ditanya kenapa nggak pake masker malah bilang, “Jangan terlalu takut ah, kan gak keliatan A virusnya. saya mah lebih takut dapur rumah gak ngebul.” Dan, sudah hampir masuk pekan kelima pasca diumumkan secara resmi oleh Jokowi, upaya komunikasi dan manajemen konflik Pemerintah buat nanganin Covid-19 hanya sampai telinga kelas masyarakat dengan kemewahan #WorkFromHome. Dari situ, saya cuma bisa geleng-geleng sambil ngaduk bubur.
Malfungsi komunikasi Pemerintah bisa sekronis ini dan justru nimbulin problem di ranah mikro. Kelas buruh harian (day-to-day worker) yang boro-boro mikirin safety, nutup biaya kebutuhan harian aja mustahil. Niat ‘baik’ Pemerintah, buzzer dan media massa buat menihilkan rasa takut sambil terus-terusan nyuapin publik dengan optimisme malah jadi buah simalakama. Hasilnya, kebijakan lockdown dan social distancing gak efektif dijalankan dan gak ngebuat publik mau keluar dari social bubble-nya.
Bentar, bedanya lockdown sama Pembatasan Sosial Berskala Besar apa ya?
Bias dan Harga Mahal Optimisme
Dalam situasi krisis, permintaan terhadap berita baik makin meningkat. Tentu saja, berita baik jadi bahan baku utama biar kita jadi lebih optimis di tengah krisis. Dari berita soal Tri Dewa yang nemuin ramuan penyembuh virus corona, sampai berita spekulatif yang bilang kalau corona bisa sembuh sendiri, semua itu lebih menenangkan dibaca ketimbang berita soal 1,2 juta pekerja yang kehilangan pekerjaannya.
Kita bisa lihat, menyebarnya teori Konspirasi Deddy Corbuzier dan Young Lex ngebuktiin gimana information misleading dan ketidakakuratan berita di tengah ketidakpastian ngebuat munculnya sumber-sumber ‘kebenaran’ alternatif, yang tentu saja lebih digandrungi khalayak. Alvesson dan Spicer menyebut ini sebagai gejala self-reinforcing stupidity karena bias optimistik dari simpang siurnya informasi.
Kita punya kecenderungan buat lebih memilih mendengar kabar baik daripada kabar buruk, sefaktual apa pun itu.
Ini dibenarkan Neil Weinstein lewat studinya di tahun 1980, kalau orang-orang punya pola optimisme yang nggak realistis ketika ngadepin ketidakpastian di masa depan. Sama halnya dengan ketidakpastian di situasi pandemi yang kita alami. Siapa pun berusaha keras buat menolak mentah-mentah fakta demi kenyamanan psikologisnya dan menghindari rasa takut.
Misalnya, sering banget orang bilang begini, “Pasti beres puasa situasinya bakal membaik, kok,” atau “Tenang, ekonomi bakal baik-baik aja,” atau “Positive thinking bisa kan? Belum sebanyak di Eropa atau Amerika. Jadi, selama kita sehat dan hemat, kita bakal baik-baik aja. Tenang.” Nah, fenomena seperti ini disebut Weinstein sebagai optimism bias.
Bukan nggak mungkin, bias optimisme ini jadi masalah besar ketika Pemerintah nerapin pembatasan sosial. PSBB jadi kebijakan yang ngambang di telinga dan jadinya nggak efektif.
Kok bisa?
Polah optimisme tadi, ngebentuk suatu gejala ketidaksadaran psikologis yang menyebabkan kita berpikir kalau kita berisiko rendah, dan nggak mungkin terinfeksi Covid-19, ya, selama kita a-b-c-d dan nggak e. Dari sini, muncul tuh mentalitas meremehkan di tengah krisis kayak gini.
Akibat kekenyangan berita baik, ditambah rantai komunikasi yang compang-camping, hingga bias privilese individual yang maksa orang lain supaya tetap positif thinking di tengah penderitaannya — justru bikin kita nggak kemana-mana. Mentalitas ‘positif’ yang makin liberal dan individualistik ini sangat korosif. Banyak orang ngerasa kepentingannya lebih penting dari orang lain, dan bakal begitu terus hingga akhirnya menyalahkan kelas buruh harian yang nggak seberuntung kita.
Mestinya, media massa dan media sosial berfungsi sebagai fasilitas buat ngasah kepekaan kolektif dengan membeberkan kemungkinan-kemungkinan “terburuk”. Selama didukung data dan riset yang akurat tanpa menggunakan redaksi yang meng-highlight terornya doang, memenye-menyekan buzzer-nya doang, kabar buruk bisa membantu publik untuk mempertimbangkan proses pengambilan keputusan (critical decision making process). Baik yang sifatnya individual ataupun komunal. Seperti menjadi lebih peka buat ngikutin himbauan Pemerintah, dan mementingkan kesehatan komunal daripada personal.
Demi mengedepankan kepentingan umum, kita lebih butuh solusi kolektif, sistemik, ketimbang solusi yang dijadiin konten-konten selebgram buat jualan empati. Walaupun tetep balik modal karena adsense dan endorsement.
Selain itu, bagi buruh harian yang nggak bisa nikmatin kemewahan kerja di rumah, berita baik atau buruk bukan jadi pertimbangan utama. Bagi mereka, tiap hari adalah kabar buruk. Soal cicilan, soal makan, soal kesehatan keluarga, dan bejibun persoalan lainnya menjadi kabar yang mereka telan bulat-bulat tiap hari. Nggak semua orang bisa menikmati instant pleasure layaknya bikin kopi dalgona, masak-masak fancy, panic buying, mesen makanan via ojol — bahkan optimisme sekali pun, jadi suatu fasilitas psikologis mewah yang nggak bisa diakses buruh harian.
Optimisme jadi komoditas yang makin hari makin mahal. Itu tergantung dari isi perut, isi hati dan isi kepala yang sangat dipengaruhi sama tabungan dan daya beli (purchasing power) kita. Kalau isi kulkas penuh, persediaan makanan selalu cukup, tabungan aman sampai akhir tahun, tentu, siapa aja bisa optimis kan?
Sudah saatnya kita ngorbanin ego kelas dan keluar dari gelembung privilese sambil mengakui: kita lagi nggak baik-baik aja, di sekitar kita orang-orang meninggal, kelaparan dan lagi nggak baik-baik aja. Dan sudah sewajarnya kita takut.
Bukan berarti karena nggak bisa nikmatin instant pleasure yang biasanya mudah diakses, kita jadi berhak nyalah-nyalahin kelompok pedagang yang masih jualan di pasar tanpa mikirin safety. Atau pengemudi ojol yang masih mondar-mandir nutupin kebutuhan harian. Atau buruh pabrik konvensional yang naik angkot karena mustahil kerja di rumah dan nggak punya pilihan.
Pada akhirnya permintaan berita baik cuma jadi cerminan ego kelas doang. Paranoia dan ketakutan, lebih kita butuhin ketimbang false positivity yang menjerumuskan. Buktinya, mereka (pemerintah/buzzer/artis/dll) yang mestinya punya peran signifikan, eh, malah lenjeh-lenjeh nyebarin hoax dan teori konspirasi sambil terus-terusan numpuk duit dari sana. Lah, kita? Nontonin? Aja?
Akhirnya, harus pahit-pahit kita sadari kalau nggak ada yang lebih kita butuhkan selain seburuk-buruknya fakta. Di situasi kayak gini, kita harus panik. Kita harus takut. Saat ini kita butuh kepastian. Bukan menunda-nunda ketidakpastian dan malah nyuapin berita-berita retoris yang nggak penting.
Kita nggak butuh berita baik di situasi kayak gini.
Daftar Pustaka
Spicer, Mats Alvesson & Andre (2012) A Stupidity‐Based Theory of Organizations, Journal of Management Study, 1194–1220, Volume 49, 7 November 2012.
Weinstein, N. D. (1980). Unrealistic optimism about future life events. Journal of Personality and Social Psychology, 39(5), 806–820. https://doi.org/10.1037/0022-3514.39.5.806