Lagi-lagi Sudah Pagi
1.
Jika berjumpa lagi dengan Bapak Aki, akan kutanyai mengapa adzan begitu belingsatan. Gemarnya kejar-kejaran sama denting mangkok bubur. Sampai merah muka, lantaran aku jarang mengapit ubin dengan takbir. Soalnya, sudah lama tidak.
Tiap jam lima, kuawasi dedak di balik Gunung Bohong. Antara semerbak dan sinar, kupikir keduanya berundak-undak. Daun-daun ganyong diam bak terlalah, rampak daun semanggi pun sama heningnya. Pelan-pelan ikut kuamati, di situ, di dahan kayu gala-gala itu, kupastikan musim hujan belum usai. Hingga muncul dari gunduk, serdadu balok satu, menodongku dengan jerit selamat pagi. Edan! Bisa-bisanya Agus buka pagar tanpa peredam.
Segila-gilanya derit pagar itu, tak akan sampai ia kubiarkan licin. Sungguh, ia memenuhi babak satu hidupku. Babak duanya, adalah beranda reyotku tanpa tedeng aling-aling, umpama kotak korek isi satu.
Asal kau tahu, Sayangku: ada cinta di sana. Di balik derit pagar itu, di ambang seloroh Agus dengan anak istrinya, pun di setiap bilah-bilah dindingnya. Cinta yang tak bisa kutukar dengan Lorazepam, pun raksi anggur di mulut, segemerlap apa pun itu, semenenangkan apa pun itu. Tak akan pernah.
Itu cinta punya mereka, yang bila ingin kujumpa butuh terbang ke langit tujuh, pun harus moksa di dalam gua yang gaduh. Padahal, aku ada di sana, di dahan kayu gala-gala itu, diam-diam asyik tersenyum kepadaku.
Kuingat lagi rupa-rupa diriku kala itu. Kala dimana malu bercermin begitu heboh di masa SD. Semakin kurapal, semakin kuhafal luka-luka. Beraneka ragam, dari tali pinggang hingga bau pakan ayam; dari kaus kaki basah hingga peniti di tas sekolah — aku terpaku sekaligus terpukau. Hanya bisa mesam-mesem, tersipu malu dan menggeliang.
Yang kupahami waktu itu adalah seribu fakta kalau cinta selalu menagihku banyak darah. Sekali-kali aku serakah, jerit sanak famili suka tiba-tiba menderu-deru. Pernah mama bilang, cinta bikin perut keroncongan. Namun, satu alasan yang cukup membuatku bertahan, ada di sana, di dahan kayu gala-gala itu.
2.
Semalam suntuk jungkir balik sama deadline. Awalnya santai, tapi ke sini-sini malah lunglai. Tiba-tiba jadi mellow, ceret kopi ikut mellow juga. Kuintip, ia agak anggut-anggutan. Ampun deh, mati-matian kerja mantap tapi orang kantor cuek bebek, setan betul. Bodo ah! Biarlah aku tergeletak barang sejam, soal apa pun itu semua sudah ada di e-mail.
Lalu, kuputuskan ngedumel di bantal. Selagi kepala naik komidi putar, sempat-sempatnya aku kepikiran zodiak. Ternyata gak enak jadi Capricorn, kalau gak goal oriented susah juga hidup. Kalau gak abal-abal jadi kapital atau berkelindan moral liberal, hidup jadi kacau balau. Baiklah, mulai besok fix hijrah.
Jika ada sedikit tenaga, bisa kuintip Yana lagi termonyong-monyong, ngopi. Yana emang baru nawarin tanah, sistem jual beli syariah, uang muka kecil tanpa bunga cicilan, pokoknya yang penting sah. Inflasi? Bodo ah(!)
Emang menggugah, tapi males ah, soalnya setengah-setengah. Setengah harga dari kisaran tanah di Bandung; setengah jam jarak dari Ujung Berung; setengah mati surveynya. Pasir Impun ke atas, dekat Gunung Manglayang, jauhnya bukan kepalang, haduh.
Kuperiksa, langit jadi makin megah. Semerbak wangi lontong kari bikin diri terengah-engah. Tapi tekad sudah bulat, kupilih nyawa ini biar tergeletak, barang dua jam sampai setengah sembilan. Terus, lanjut lagi hidup setengah-setengah.
3.
Barangkali, ceritaku tadi cuma ada dalam mimpi. Lazim tidaknya buat diceritakan, bakal kuandalkan hentakan-hentakan soal perasaan. Apalagi, kutahu kau masih menimbang-nimbang soal bagaimana aku yang terpukau pada cahaya.
Dan sejak tadi, telah kutanyai dirimu:
… apa pendapatmu mengenai hari-hari yang biasa kulalui tanpamu? mengenai ambisi yang tunggang langgang menghilang? mengenai jerih payah dan hari-hari lelah? mengenai buhul-buhul yang menggeliat di dadaku seperti ganggang-ganggang kering yang usang?
Dan mengenai aku yang letih mengejar cahaya:
… jangan salah, walau terbiasa, gelap akan selalu menakutkan. Walau secara praktis aku terbiasa kau tak ada, walau aku tahu hajatku bersilangan dengan hasratmu, kau pun mesti tahu bahwa banyak kepura-puraan yang buat ingatanku sekarat, hingga upayaku untuk mengecoh ingatanku pun — kupaham betul itu gagal, dan segala macam kepura-puraan pun begitu saja menguap.
Untuk sekarang, cukuplah kuabaikan bau lempung, atau gumul-gumul lembayung, sambil mencari belasungkawa pada cekikikan hujan, dengan syahdu berpura-pura, atas segala kelakar konyol yang terjadi di antara kita.
4.
Peranti, peranti
bila betul hidup cuma untuk mati
kok’ masih dinanti-nanti?
Dari yang berkumpul, kepada yang bergumul
bila betul Jum’at akrab sama sakaratul
kok’ masih hidup dengan takhayul?
Peranti, peranti
sebaik-baiknya hari ini
kok’ kalian belum juga syahid?
5.
Akhir-akhir ini, begitu sulit untuk pura-pura tidak egois, dari lapar yang bikin jangar, banyak yang lupa belajar, kalau tak perlu sejajar buat sama-sama belajar, sabar, tanpa perlu berkelakar soal siapa yang paling benar, soalnya, pasti kamu yang paling benar, kan?
Akhir-akhir ini, begitu sulit untuk pura-pura tidak egois, soal perangai positif yang diumbar-umbar, mencari jalan tengah dan menghindar dari masalah, tentu bukan jalan keluar, soalnya, siapa saja bisa merasa benar dengan jurus: “Setiap orang berhak beropini”, katanya sih free speech, duh! nyatanya, cuma kamu yang senang kalau begini-begini saja, asal kamu tidak dirugikan, kan?
Akhir-akhir ini, waktu jadi terasa cepat, tapi, hati serasa diam di tempat, tidak apa-apa, toh ini saat yang tepat, buat rehat dan lihat-lihat, kamu yang sekarat, mereka yang sekarat, atau bisa jadi, kita sama-sama sekarat? atau mungkin kebenaran yang kamu anggap benar, benar-benar hanya karena kamu yang takut sekarat, takut dimusuhin aparat, jadi makanya sekarang kamu bangga jadi keparat, kan?
Akhir-akhir ini, begitu banyak orang-orang egois — yang mati-matian mendukung orang egois lain — dan ternyata, oh, ternyata, pura-pura sekarat supaya etosnya banyak yang lihat, bukan?
Akhir-akhir ini makin terlihat, mana yang sekarat, mana yang pura-pura sekarat.
6.
Karena malam ini senyap, dan aku ingin terlelap di sebelahmu dengan ponsel, buku, serta sayup-sayup playlist tidur yang otomatis disetel, pada akhirnya, aku hanya berakhir menyembah temaram lampu tidur. Karena aku teringat tubuhmu: wangi air liurmu, juga belepotan keringat di lehermu — mendadak, aku jadi kehilangan tutur bahasaku.
Karena kamu tak pernah menanyakan arti bahasaku, dan aku lupa berbahasa seperti hari-hariku biasa, akhirnya hanya kerinduan yang menjadi bahasa kita malam ini. Karena saat matamu menatap tubuhku, dan kusadari dua puluh menit tanganku: dan tanganmu, dan matamu— mulai bergerak tanpa suara, pada akhirnya, kita mulai mengamini kalau sunyi adalah bahasa yang paling mudah dipahami saat ini.
Karena kita nyaman berlama-lama, dan sadar betul mengenai keterbatasan untuk all out, kuingatkan padamu kalau tubuh kita rapuh: dan jauh, dan butuh — nyatanya, aku terlalu menyayangimu. Dan saat itu aku sadar betul kalau terlalu canggih khayalmu membayangkan aku telanjang, justru, malah tubuhku yang tak henti-hentinya merindukan tubuhmu.
7.
sembari gelap menggelayut,
tawamu ranum menghalau kemelut.
napasmu parau? atau,
dikau cuma terpukau pada cerau?
di kala sadarmu tak lagi berkuasa,
keabu-abu hanya semu berhelat rasa.
sedu hati terpikat pada gelap,
sembari tubuhmu lenyap dalam gemerlap.
8.
sedapat-dapatnya dikau bergelagat,
tatkala terbuai bumantara yang hendak berkelat.
kendati gegana berarakan,
dikau risau sambil meracau,
“ayah, apa tuhan bisa dibohongi?”
pria itu menggambal dan berhelat,
“tentu. lewat doa, kita saling membohongi.”
9.
tak perlu terkeloyak!
bilamana dikau masih tempias pada ceruk meruk
selagi air ludahmu masih kuteguk
niscaya
air maniku bukan alibi untukmu pungak-pinguk
10.
Bilamana dikau masih keder diberangus dendam,
tengoklah kemari!
Siapa sangka kalau aku yang malah terhunjam,
lantaran keteteran birahi yang sungkan diajak diam.
11.
Tentu saja, bagimu,
ibadah jadi ajang tukar tambah.
Hari ini menggelebah,
besoknya bertalah-talah —
minta ampun pada kakbah.
[.]