Hampir memasuki bulan ketiga diberlakukannya PSBB COVID-19, wacana new normal mulai marak digembar-gemborkan. Rupanya, PSBB hampir mencekik beberapa sektor vital di negeri ini. Tapi, dari beberapa sektor prioritas yang mestinya distimulus, secara simbolik, rezim Jokowi lebih memilih ‘mal’ untuk mengawali genderang kelaziman baru a.k.a New Normal di Indonesia.
Sekitar 60 pusat perbelanjaan di DKI Jakarta sudah dibuka kembali sejak 5 Juni. Berangsur-angsur disusul pusat perbelanjaan di kota-kota lainnya. Publik mulai ramai mengantre, dan transaksi di market place seperti mal, cafe, dan lainnya mulai kembali ‘normal’. Publik senang, pemerintah senang? Gitu kan, ya?
Mal Buka, Semua Suka
Di atas kertas, angka penyebaran COVID-19 di Indonesia masih sangat — sangat fluktuatif. Prosedur kelaziman baru (new normal) malah jadi nggak lazim dan terkesan mempertaruhkan kesehatan publik, mengiklaskan publik untuk mati satu per satu.
Izin dan prosedur yang dikeluarkan bukannya fokus pada protokol kesehatan, tapi lebih nampak seperti prosedur dagang. Prosedur buat mengakali rugi, ningkatin surplus dan profit di tengah pandemi — gimana pun caranya. Sekali pun itu ngorbanin keamanan dan kesehatan publik, selama semua suka, ya nggak masalah.
Memang, beberapa negara di Asia Timur dan Eropa udah longgarin restriksi dan prosedur lockdown. Pusat perbelanjaan dan aktivitas ekonomi mikro sedikit demi sedikit emang kembali ‘normal’. Tapi, dengan catatan, ketika case fatality dan penyebaran COVID-19 menurun.
Tentu, di kita nggak gitu.
Hal ini berbanding terbalik sama evidence based di Indonesia. Belum ada tanda-tanda penurunan penularan, eh, semua public sector dan pemodal udah meronta-ronta minta cepet-cepet diadain stimulasi ekonomi di sektor riil dan perdagangan. Dengan sembrononya, mau pemerintah pusat dan daerah bersuka ria merayakan new normal dengan situasi pandemi yang nyatanya masih porak-poranda.
Dilihat dari indikator mana pun, pemulihan di sektor ekonomi melalui protokol ‘new normal’ nggak masuk akal. Berdasarkan logika Kebijakan Publik, baik secara kumulatif atau pun kualitatif, Indonesia belum layak menggaungkan pelaksanaan new normal. Persyaratan pelonggaran dari WHO tentu belum terpenuhi. Dengan skala 10.000 tes per 1 juta penduduk juga belum tercapai. Itu minimum, lho. Lalu, kok angkuh sekali Jokowi minta ini dan itu ke publik demi new normal?
Anggapan bahwa kebijakan new normal bisa menstimulus roda ekonomi pun nggak berdasar. Khususnya buat pelaku ekonomi menengah hingga hilir, belum nampak ‘hilal’ atau jaminan mendapatkan keuntungan. Yang ada, beberapa perusahaan ritel di hilir ngalamin defisiensi permintaan, plus, penurunan penjualan. PHK besar-besaran, penurunan daya beli, keterbatasan pemasukan, dan sektor-sektor komoditas vital akan sangat mempengaruhi rantai dan distribusi produk. Akhirnya, antara protokol new normal dan ekonomi di sektor ekonomi ‘kerakyatan’ jadi nggak sinkron. Atau mungkin aja sinkron … bukan untuk rakyat, tapi untuk pejabat.
Jokowi Minta, Rakyat Menderita
Kayaknya Jokowi lebih banyak mintanya ketimbang kita deh. 6 Mei lalu, Jokowi minta kurva COVID-19 di bulan itu harus menurun. Ahem, apa pun caranya. Besoknya, Jokowi minta kita harus hidup ‘berdamai’ dengan Covid sampai vaksinnya ditemukan. Sampai akhir bulan Mei ini, Jokowi minta TNI & Polri untuk turun ke lapangan demi menurunkan kurva COVID-19. Padahal, itu mah akal-akalan doi supaya sektor militer kecipratan budget.
Padahal, yang sekarang butuh budget itu ya rumah sakit dan tenaga kesehatan, cok! Hehe, tapi… tentu saja, permintaan presiden selalu terkabul. Walaupun se-enggak masuk akal itu.
Semua produk kebijakan, cuap-cuap pejabat publik di TV, nggak lebih dari dorongan tekanan politik. Mestinya, protokol pandemik mengutamakan aspek kesehatan, lalu ekonomi sebagai bonusnya. Di sini, rezim Jokowi mengabaikan kepentingan publik dan ‘memaksa’ publik menuruti permintaannya. Kenapa? Tentu saja, beliau ditekan kepentingannya sendiri, investasi, dan bankir-bankir moneter dari global market yang cuma mikirin Rupiah.
Demi new normal, segala jenis protokol dasar keselamatan manusia dilanggar hanya demi keselamatan ekonomi. Kalau benar pemerintah bekerja, seharusnya, mereka yang nyelamatin ekonomi demi kita. Bukannya malah nyuruh kita yang bertaruh nyawa buat ngejaga stabilitas sektor ekonomi mikro.
Di hadapan kekuasaan, kita cuma angka. Demi pemodal, keselamatan kita digantung-gantung. Asal Rupiah nggak goyang, nggak masalahlah nyawa publik melayang.
Gitu kan, ya?
[.]