Kartelisasi Oligark dan Masa Depan Kebijakan Publik Indonesia

Danu.
6 min readNov 10, 2020

--

Kolapsnya rezim Soeharto menjadi babak baru bagi oligarki. Sebelum reformasi, Soeharto merupakan sosok oligark dengan kekuatan politik dan kekayaan material yang terkonsentrasi bak sultan. Ia juga turut menjadi ikon investasi di balik sirkulasi penanaman modal neoliberal berkedok liberalisasi ekonomi.

Namun di saat yang sama, Orde Baru juga berhasil mendesain kondisi sosial-politik Indonesia menjadi kelas-kelas yang didasarkan pada kekayaan material dan jabatan sipil/militer. Dari sinilah awal mencuatnya manuver-manuver baru oligark di dalam konstitusi, partai politik dan agenda-agenda kebijakan publik dalam proses demokratisasi.

Lalu, bagaimana nasib kebijakan publik di tengah reformasi yang telah ‘dicolong’ oligarki?

Kartelisasi oligark pasca-Orde Baru

Pada rezim Orde Baru, peta kekuatan politik Indonesia hanya terkonsentrasi pada partai Golkar, dan PPP yang merupakan penggabungan partai-partai Islam. Tentu saja, eksistensi kedua partai ini memiliki keterkaitan yang saling menguntungkan di antara keduanya.

Setelah 1998, kenyataannya, partai-partai politik baru yang muncul sejak rezim Habibie tidak dapat lepas dari pengaruh oligark partai yang berkuasa di rezim sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari tokoh, nilai dan akar ideologi partai-partai tersebut (PDIP, PKB, PKS dan PAN) yang berkesinambungan dengan Orde Lama dan Orde Baru. Selain itu, selama empat periode pemilihan umum sejak tahun 1999, keenam partai tersebut selalu sukses menduduki kabinet, parlemen dan piawai memegang kendali legislatif.

Melalui jaringan-jaringan oligark partai yang berkuasa sebelumnya, keenam partai ini dengan luwes beradaptasi dalam sistem pemilu di Indonesia. Demokrat, Gerindra dan Hanura pun masuk dalam karakteristik partai yang selalu menduduki parlemen. Sulit untuk tidak menghubung-hubungkan partai-partai ini dengan pengaruh rezim sebelum reformasi. Kita sendiri familiar dengan fakta bahwa ketua umum ketiga partai ini memiliki keterkaitan historis dengan Orde Baru dan Orde Lama.

Winter dalam Oligarch (2011), mengurai bagaimana proses oligarki telah berhasil memanipulasi struktur politik Indonesia melalui penyesuaian-penyesuaian kebijakan dalam sistem politik demokrasi. Pastinya, penyesuaian-penyesuaian tersebut beroperasi di bawah proses legislasi atas nama kebijakan publik.

Dalam tulisannya, Winter juga menjelaskan bahwa karakteristik oligarki pasca-Soeharto dikategorikan sebagai perjodohan antara oligark, partai politik dan kartel. Seperti halnya kartel bisnis, politik di Indonesia pun terkungkung oleh kartelisasi dua belas partai yang acap bertukar-tukar koalisi tiap ajang pilpres.

Kartelisasi politik, menurut Mietzner (2011), merupakan konsekuensi dari harga mahal demokrasi liberal dan sistem presidensial di Indonesia. Ini berkaitan dengan “ongkos” demokrasi yang kepalang “mahal”. Alih-alih memberi ruang politik yang inklusif bagi publik, demokrasi di Indonesia cenderung memberi ruang pada politik uang yang kerap semakin banal menggerogoti sistem politik Indonesia.

“Ongkos demokrasi” inilah yang kemudian diutak-atik kelompok oligark untuk melakukan kartelisasi dan eksploitasi di dalam sistem demokrasi Indonesia.

Sederhananya, Dan Slater (2018) dalam Party Cartelization mengkondisikan kartelisasi politik sebagai efek lanjutan dari oligarki yang belum hilang akibat lemahnya, ketiadaan, dan ketakutan menjadi oposisi dalam sistem demokrasi.

Slater (2018) mengungkapkan, contoh produk kartelisasi saat ini dapat dilihat pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang mensyaratkan capres-wapres hanya bisa diusung oleh partai atau koalisi. Belum lagi ditambah dengan aturan ambang batas 20%-25% di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pengaturan ini membendung adanya calon individual di luar sistem partai. Sehingga akan rentan terjadi proses konsolidasi yang sangat mudah diinternalisasi kepentingan oligark untuk mempertahankan status quo, dan meminimalisir oposisi.

Kondisi tersebut menjawab bagaimana partai oposisi di Indonesia tidak pernah konsisten, atau hampir tidak ada. Kekosongan kursi oposisi ini tentu sudah diprediksi. Walaupun sejak 2004 Indonesia telah melakukan pemilu secara langsung, sayangnya, akuntabilitas partai terhadap publik tidak pernah mulus. Sebaliknya, publik malah terkecoh dengan sosok presiden tanpa mengamati dengan jeli skenario pembagian kursi di belakangnya.

Skenario inilah yang disebut Dan Slater sebagai strategi “power-sharing” atau pembagian kekuasaan. Ia juga menambahkan bahwa presiden terpilih di Indonesia lebih cenderung bertindak sebagai “eksekutor” pembagian kursi kabinet, ketimbang berfungsi sebagai kepala pemerintahan. Presiden terpilih, akan menggunakan strategi power-sharing sebagai upaya membungkam, dan menekan oposisi dalam seting politik di Indonesia. Dan tentunya, itu semua didasarkan atas tekanan agenda partai koalisi.

Dan Slater mengkategorikan strategi power-sharing dalam sistem presidensial Indonesia menjadi dua kategori. Pertama, power sharing a victory game, yaitu ketika presiden berkuasa menolak untuk berbagi kursi dengan oposisi dan menekan ruang gerak mereka. Kedua, power sharing reciprocity-style, menjelaskan bagaimana presiden terpilih terbuka untuk berbagi kursi dengan oposisi dengan maksud untuk menetralisir atau bahkan menghilangkan eksistensi oposisi.

Tipe kedua ini baru saja dialami Indonesia pasca masuknya Prabowo Subianto ke dalam kabinet presiden terpilih. Tentunya, kekosongan oposisi ini menjadi bukti bagaimana sistem demokrasi Indonesia, dengan sedemikian rupa telah dikartelisasi oligark.

Apa penyebabnya?

Kenyataannya, proses demokratisasi pasca-reformasi turut andil dalam mentranformasi wajah oligarki di Indonesia. Semenjak 1998, civil society telah menyaksikan sendiri bagaimana oligarki membuat dirinya semakin inklusif, kompatibel dan mampu beradaptasi dengan demokrasi.

Krisis ideologi yang dialami Indonesia dan kentalnya politik uang, telah dimanfaatkan oleh kelompok oligark untuk memobilisasi kekuatan politik dan kekayaannya melalui partai-partai politik baru.

Dalam proses demokrasi, partai politik merupakan format untuk memperjuangkan hak dan agenda politik individu atau kelompoknya. Sayangnya, partai politik malah menjadi wahana baru bagi oligarki untuk mengeksploitasi kekuasaan politiknya dalam proses demokratisasi Indonesia. Transaksi di antara partai politik, elit oligarki dan pengusaha akan berdampak pada orientasi legislasi dan proses kartelisasi politik di masa depan.

Mengetahui kondisi sipil yang masih mengalami kesenjangan, rasanya mustahil bagi civil society untuk mengakses fasilitas demokrasi yang kepalang mahal. Lagi-lagi, ‘pemain lama’-lah yang menduduki partai-partai baru dengan upaya menggembar-gemborkan “rule of law” sebagai slogan ciamik khas demokrasi sosial. Sedangkan, mayoritas civil society yang masih berada dalam situasi resesi global serta represi politik, belum siap menutup kesenjangan sumber daya kekuasaan yang masih didominasi oleh oligark dan elit.

Dapat dikatakan, tidak ada satu pun entitas politik yang berstatus oposisi pada saat itu. Satu-satunya oposisi rezim Orde Baru adalah aktivis dan civil society. Kalau pun ada, individu atau tokoh politik tersebut sangat mudah dimanipulasi dan hanyut dalam konflik kepentingan.

Inilah yang disebut Hakim dan Jurdi (2017) sebagai ‘immature politicians’. Gagalnya mobilisasi kekuatan politik, kartelisasi partai politik yang berangsur cepat, bergantungnya publik terhadap immature politicians, dan gagalnya konsolidasi demokrasi oposisi non-oligarki menjadi penyebab lahirnya ‘kartelisasi oligark’ ini. Aktivis 98’ yang saat ini berada dalam pusara kartelisasi merupakan buah dari immature politicians.

Pada akhirnya, reformasi hanya mampu menyentuh sektor elektoral yang demokratis secara praktis melalui pemilu. Namun, tidak mampu mengurai eksploitasi kekuatan oligark yang mendarah daging dalam konstitusi di Indonesia. Praktik ‘membeli’ hak politik kelas non-elit pun tidak bisa dihindarkan, dan akan selalu mewarnai kontestasi demokrasi setiap lima tahun sekali.

Reformasi mungkin sukses menggulingkan sosok oligarki secara monumental, namun tidak secara konstitusional.

Masa depan kebijakan publik di tengah kartelisasi oligark

Praktik kartelisasi politik di Indonesia sangatlah akut. Tak ada yang lebih mengancam dari produk kebijakan publik yang dihasilkan proses kartelisasi politik hari ini. Produk undang-undang seperti UU KPK, UU Minerba hingga RUU Cipta Kerja; tak lain adalah puncak dari proses kartelisasi demokrasi oligark selama lebih dari dua dekade ini.

Di samping itu, kartelisasi oligark sendiri tak bisa lepas dari tekanan politik domestik dan tekanan investasi asing (Foreign Direct Investment). Rejim neoliberalisme global, turut menjadi salah satu alasan krusial soal bagaimana liberalisasi menggerogoti sistem legal, konstitusional dan kebijakan publik Indonesia saat ini.

Wacana-wacana industrialisasi menjangkiti setiap proses pembuatan kebijakan dalam tatanan politik di Indonesia. Dan tentunya, wacana industrialisasi selalu menjadi euforia bagi aktor-aktor yang diuntungkan di dalam global value chain.

Mengapa harus melalui liberalisasi?

Liberalisasi memudahkan sirkulasi kapital, mendatangkan investasi dan memberi kesempatan kepada ‘siapa saja’ untuk mengakumulasikan kapital yang ia punya. Tentu ‘siapa saja’ yang dimaksud adalah oligark dan elit yang memiliki potensi untuk menggenjot material power yang terkonsentrasi secara individual. Alhasil, mereka dapat mempertahankan bahkan mengakumulasi kapitalnya melalui produk kebijakan publik yang dihasilkan.

Parahnya, setiap seting agenda yang diusulkan dalam proses legislasi tidak lagi menjadikan publik sebagai sentral dari kebijakan publik. Hari ini, setiap formulasi kebijakan berangsur-angsur mereduksi hak-hak publik, dan hanya berkelindan pada kepentingan oligark secara kolektif. Bukan hal mustahil apabila di rezim selanjutnya, kartelisasi oligark semakin mengkristal dalam demokratisasi Indonesia. Lalu, agenda selanjutnya pasca-liberalisasi yang sukses mengkristal, yakni deregulasi atas hilangnya kontrol publik di dalam kedaulatan negara.

Apabila terus seperti ini, apakah di lima tahun yang akan datang masih ada ‘publik’ di dalam proses pembuatan kebijakan publik Indonesia?

Referensi:

1. Jeffrey A. Winters, Oligarchy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), hlm. 10–22.

2. Christian Chua, Capitalist Consolidation, Consolidated Capitalist: Indonesia’s Conglomerates between Authoritarianism and Democracy, (Oxford: Routledge. 2009), hlm. 201–225.

3. Daniel S. Lev, The State and Law Reform in Indonesia, in Law Reform in Developing and Transitional States, ed. Tim Lindsey (New York, NY: Routledge, 2007)

4. Mietzner, M., Indonesia‘s political party: Cartelized and poorly institutionalized? Academic paper presented in Leiden University. Leiden: Leiden University (Nov 30, 2011).

5. Ron Duncan and Ross H. Mcleod, The State and the Market in Democraticic Indonesia, dalam Indonesia: Democracy and the Promise of Good Governance, ed. Ross H. McLeod and Andrew MacIntyre (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2007), hlm. 73 — 92.

6. Slater, D., Party Cartelization, Indonesian-Style: Presidential Power-Sharing and the Contingency of Democratic Opposition. Journal of East Asian Studies, 18(1), 23–46.

--

--

No responses yet