Sayup-sayup Pemulihan Ekonomi dan Tumpukan Utang BUMN
Di antara pemulihan ekonomi dan risiko gagal bayar utang; COVID-19 menjadi alasan mengapa BUMN landai pendapatan, hingga meroketnya beban utang.
Lonjakan utang BUMN dialami hampir 90% dari total 142 BUMN di Indonesia. Bukan hanya diakibatkan pandemi, sebenarnya, tren kenaikan utang tersebut telah berangsur-angsur merangkak naik selama periode 2015–2019.
Dalam kuartal ketiga tahun 2020, Kementrian BUMN mencatat total utang mencapai 1.682 triliun, naik Rp 289 triliun dibandingkan posisi akhir 2019. Sedangkan data Statistik Utang Luar Negeri BI melaporkan pinjaman asing BUMN per Januari 2021 mencapai US$ 57,47 miliar atau setara Rp 809 triliun mengacu kurs JISDOR periode yang sama. Peneliti INDEF, Deniey A. Purwanto, memvalidasi bahwa solvabilitas BUMN atau debt to asset telah melewati 60% terhitung sejak tahun 2016. Seperti halnya nasib Garuda Indonesia, PLN serta BUMN lainnya yang terpaksa melakukan restrukturisasi.
Garuda Indonesia telah melakukan pengajuan restrukturisasi utang sukuk global US$ 500 juta yang seharusnya dibayarkan pada 3 Juni lalu. Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menuturkan bahwa pengajuan tersebut merupakan skema penyelamatan keberlangsungan usaha.
Tentu saja, hal ini diakibatkan oleh pembatasan mobilisasi yang memaksa 70% armada Garuda tidak beroperasi. Sedangkan pada kenyataanya, 80% pendapatan Garuda Indonesia sendiri sangat mengandalkan kontribusi penumpang.
Angin yang sama pun tak luput menerjang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Total Rp 35 triliun harus dibayarkan sepanjang tahun 2020 dengan sebagian proporsi utang yang berbentuk valas. Akibatnya, utang semakin berat akibat nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang kian melemah. Kenyataannya, setiap pelemahan kurs Rp 1.000 per dolar AS bisa menaikkan beban utang Rp 9 triliun.
Walaupun secara teknis kenaikan utang dianggap linier dengan profitabilitas, Deniey menuturkan bahwa kenyataannya berbanding terbalik. Akibat terganggunya rantai pasok (supply chain), return of equity BUMN sangat kecil bahkan negatif terutama pada sektor BUMN transportasi dan konstruksi.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab melejitnya beban utang BUMN.
- Pertama, penurunan impor bahan baku yang menyebabkan kekacauan rantai pasok di pasar domestik. Pada Februari 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat realisasi kinerja impor Indonesia tercatat USD11,6 miliar atau turun 18,69% dari periode Januari 2020 USD14,27 miliar. Hal ini disebabkan karena keterikatan (interdependence) rantai pasok dan bahan baku produksi dengan China. China yang sedang melakukan restriksi sosial terpaksa haru menghentikan aktivitas bisnisnya karena COVID-19. Akibatnya, aktivitas produksi di Indonesia mengalami penurunan di triwulan I/2020 hingga II/2020.
- Kedua, inflasi rendah, daya beli dan pembatasan jumlah produksi. Inflasi pada Mei 2020 hanya menyentuh angka 0,07% hingga 1,68% di akhir tahun 2020. Angka ini diklaim terendah oleh BPS dan jauh dari ekspektasi pasar yang memprediksi inflasi mencapai 2% hingga 4% secara tahunan (yoy). Tentunya, ini tidak jauh dari akibat pembatasan sosial yang menyebabkan aktivitas pasar domestik terhenti. BUMN yang memiliki ketergantungan supply pun turut mengalami penurunan produksi.
- Ketiga, operasional dan likuidasi perusahaan yang mengalami friksi akibat hambatan pasok dan produktivitas. Ini pun termasuk agenda pembangunan infrastruktur di awal tahun 2019 yang diupayakan oleh BUMN dengan mengambil jumlah besaran utang yang besar. Karena skema proyek pemerintah-BUMN adalah Contractors Pre-Financing (CPF), dimana pembayaran dilakukan diakhir proyek, maka jalan tersebut harus ditempuh BUMN untuk mengejar target.
McKinsey & Company (2019) dalam laporan “Signs of stress in the Asian financial system” melaporkan bahwa 32 persen utang jangka panjang korporasi di Indonesia punya interest coverage ratio (ICR) atau rasio kemampuan membayar bunga utang di bawah 1,5. Apabila ditinjau secara sektoral, besaran angka ini menumpuk di perusahaan utilitas. Kecenderungan tersebut diakibatkan karena sektor utilitas yang memiliki keterkaitan sistemik dengan banyak stakeholder. Oleh karena itu, kinerja baik perusahaan lebih sulit didapatkan.
Skenario penyelamatan BUMN
Secara normatif, skenario penyelematan BUMN tercantum dalam PP No. 23 Tahun 2020. Hal-hal yang tercantum mencakup: (1) melakukan penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN; (2) penempatan dana; (3) investasi pemerintah secara langsung dan (4) penjaminan.
Skenario penyelamatan melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) berdasarkan PP No. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara, yaitu melakukan pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau penetapan cadangan perusahan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi.
PMN dilakukan sebagai upaya untuk melakukan restrukturisasi permodalan, kapital dan kapasitas produksi perusahaan. Berdasarkan usulan Kementerian BUMN kepada DPR, terdapat 7 (tujuh) BUMN penerima PMN yakni: PT Hutama Karya (Persero), PT Permodalan Nasional Madani; PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero); PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero); PT Perkebunan Nusantara III (Persero); Perum Pembangunan Perumahan Nasional; PT Kereta Api Indonesia (Persero), dengan total dana PMN sebesar Rp23,65 triliun.
Skenario lainnya yaitu pencairan utang pemerintah sebesar 75% kepada BUMN dengan total Rp115,95 triliun. Pencairan utang ini diterima oleh 9 BUMN yang mengalami cost of fund akibat akumulasi utang pemerintah yang belum dibayarkan. Termasuk overhead cost yang selama ini harus ditutup BUMN akibat bunga pinjaman dan piutang ke bank.
Skenario terakhir yang ditempuh mencakup dana pinjaman yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN. Misalnya, pinjaman Rp8,5 triliun yang diberikan pemerintah kepada Garuda Indonesia yang mengalami penurunan pendapatan sebesar 87,4% sekaligus biaya operasional yang menurun hingga 58%. Hal yang sama juga diterima oleh PT Krakatau Steel dengan besaran Rp 3 triliun pinjaman untuk menyokong likuidasi dan keberlangsungan produksi utilitas yang terhenti di sektor hulu. Kurang lebih pemerintah telah menggelontorkan pinjaman dengan total dana sebesar Rp151,1 triliun.
Proyeksi di masa berikutnya
Secara teknis, utang BUMN dapat digolongkan sebagai utang publik karena memiliki korespondensi dengan anggaran publik. Apabila ceroboh dan abai, maka utang BUMN bisa menyebabkan bencana fiskal negara. Melihat kondisi sebelum pandemi pun, kondisi piutang BUMN sudah memprihatinkan. Rata-rata rasio utang terhadap aset BUMN naik dari 33,42% pada 2016 menjadi 69,52%. Namun, kenaikan utang tak berbanding dengan kemampuan perusahaan mencetak keuntungan. Rata-rata laba bersih dibandingkan pendapatan BUMN justru turun dari 10,14% pada 2019 menjadi 7,09%.
Melihat bagaimana debt trap menjadi momok di depan mata, salah satu upaya untuk menghambat laju utang adalah menyetop pengeluaran besar infrastruktur. Hari ini saja, total hutang pemerintah dan BUMN sudah lebih dari Rp8.000 triliun. Lebih buruk lagi, angka ini diprediksi akan menyentuh Rp10.000 triliun pasca Jokowi menjabat.
Namun, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah Redjalam, menekankan bahwa bukan hanya aspek utang yang dapat ditinjau, melainkan perlu juga dilihat melalui piutang dan total asetnya. Ia menganggap aset BUMN Karya sangat besar sehingga melalui penjualan konsesi bisa menutup problem likuiditas yang dialami oleh BUMN Karya, misalnya. Itu pun dibantu dengan kemunculan Lembaga Pengelola Investasi dalam membantu melepas asetny.
Sayang sekali, LPI (Lembaga Pengelola Investasi) sendiri belum mampu menurunkan utang BUMN dalam jangka pendek walaupun menahan leverage di BUMN. Klaim ini diutarakan oleh Lembaga Pemeringkat Global Fitch Ratings yang juga menganggap modal yang digelontorkan LPI relatif di bawah besaran utang BUMN.
Oleh sebab itu, disiplin fiskal harus lebih dikedepankan daripada secara ceroboh membebankan proyek infrastruktur kepada BUMN. Pemerintah harus secara jeli mempertimbangkan likuiditas, tingkat suku bunga hingga fluktuasi nilai tukar yang kerap luput dan menyebabkan gagal bayar utang di BUMN.
Apabila merefleksikan kembali kronologi krisis finansial pada tahun 1997 dan 1998, maka hari ini kondisi finansial Indonesia tidak bisa dianggap sepele. Tiga faktor fundamental krisis seperti gagal bayar utang korporasi, sistem keuangan rentan, dan penurunan masuknya arus modal, saat ini sedang menggentayangi kondisi finansial global.
[.]