Data Bansos COVID-19 Masih Simpang Siur
Menjelang satu tahun pandemi menerjang, penanganan COVID-19 di Indonesia masih belum menemui titik terang
Sampai hari ini, angka positif COVID-19 telah mencapai 1,3 juta dengan asumsi bahwa akan terus meningkat setiap harinya.
Sejak April tahun lalu, pemerintah telah menggelontorkan paket kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diikuti dengan alokasi APBN sebesar Rp677,2 triliun. Termasuk di dalamnya berupa program Jaringan Pengaman Sosial (JPS) senilai Rp110 triliun.
Program JPS diupayakan sebagai paket stimulus ekonomi untuk menopang kebutuhan kelompok rentan selama masa pembatasan sosial berlangsung. Program JPS juga diselaraskan dengan pemetaan Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Prakerja, Kartu Sembako, Subsidi Listrik, dan Subsidi Insentif Perumahan Murah. Selain itu, pemerintah juga menambah alokasi dana sebesar Rp3,42 triliun untuk sembako dan Rp16,2 triliun untuk Bantuan Langsung Tunai.
Bukannya menyasar kelompok rentan, niat baik pemerintah melalui bansos justru malah melenceng jauh dari harapan. Lagi-lagi, tumpang tindih data antara pemerintah pusat dan daerah menjadi persoalan klasik dalam skema distribusi bansos. Dalam kondisi darurat, penggunaan BDT (Basis Data Terpadu) atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) hanya berujung pada kesimpang-siuran data secara horizontal (pusat-daerah). Hal ini menjadi episentrum permasalahan bansos ketika skema penyalurannya diaplikasikan di daerah.
Di mana letak masalahnya?
Pasalnya, 30 persen data penerima manfaat dinyatakan tidak akurat oleh Kementrian Sosial sendiri. Selama ini, DTKS hanya melakukan survey secara normatif tanpa melakukan validasi secara real time dan belum melakukan harmonisasi dengan elemen kelurahan termasuk RT/RW. Ditambah lagi, DTKS tidak secara dinamis memproyeksikan data kelompok terdampak secara akurat. Masalahnya, data yang ada hari ini belum menyertakan variabel kelompok rentan/miskin baru yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK), pekerja informal, dan pemilik usaha mikro dengan total 29 juta penduduk.
Di sisi lain, BDT hanya mencakup 40% kelompok masyarakat miskin. Apabila menggunakan skenario yang sama, otomatis, kelompok rentan sejumlah 29 juta yang mengalami PHK di sektor informal tidak termasuk sebagai kelompok sasaran. Padahal, pemerintah juga harus melakukan mitigasi terhadap risiko penambahan kelompok miskin baru di tengah situasi pandemi dan resesi.
Dalam realisasi program bansos di tahun 2021, terdata 10 juta keluarga yang akan menerima PKH dengan jumlah Rp 28,7 triliun dan 18,8 juta kepala keluarga lainnya yang akan menerima bantuan kartu sembako tahap pertama dengan total Rp 45,12 triliun. Kedua bantuan ini akan didistribusikan ke 34 provinsi dengan dapat diakses melalui Himpunan Bank Negara (HIMBARA) dan Kantor Pos. Dengan adanya komponen bank dan Kantor Pos ini, diharapkan dapat menutup celah simpang-siurnya data penerima bansos dan memudahkan distribusi.
Sayangnya, dua instrumen tambahan untuk distribusi bansos tersebut membuat persoalan semakin rumit. Dengan menggunakan basis data nasabah bank, patutnya, penerima manfaat harus memiliki rekening di salah satu bank HIMBARA untuk mengakses PKH. Faktanya, 92 juta penduduk dewasa di Indonesia tidak memiliki rekening bank (unbanked). Sedangkan total pemilik rekening di Indonesia hanya berjumlah 42 juta penduduk dewasa.
Perlu juga dipertimbangkan bahwa tidak semua provinsi di Indonesia memiliki akses finansial dan bank yang setara. Apalagi wacana pemanfaatan platform digital seperti e-Warong yang terkesan mensimplifikasi persoalan kesenjangan akses ini. Akhirnya, penyaluran bansos melalui bank selain tidak proporsional, juga turut menihilkan persoalan daerah mengenai akses layanan perbankan.
Sementara itu, akses bansos melalui Kantor Pos pun masih mengandalkan DTKS sebagai basis data primernya. Kenyataannya, input sistem penyaluran tersebut belum menjawab kebutuhan kelompok rentan yang tidak terdata di dalam BDT atau DTKS.
Tak berhenti sampai di situ, kemelut multi-sektoral yang tidak berkesudahan juga menambah catatan panjang amburadul data bansos. Problem ego-sektoral ini terjadi akibat adanya nuansa “sense of rivalry” di antara kelembagaan negara. Dalam skenario COVID-19 saja, lembaga yang terlibat dalam program bansos tidak secara komprehensif mencakup semua lembaga internal pemerintahan. Sebagai contoh, data kematian akibat COVID-19 tidak terintegrasi dengan data BDT atau DTKS. Dengan begitu, besar kemungkinannya bansos akan menumpuk dan tidak terserap. Sedangkan banyak kelompok rentan yang tidak terdata lebih membutuhkan bantuan tersebut.
Apa yang bisa dilakukan?
Pertama, melakukan assessment dan pendataan real time dengan skema bottom-up melalui pemanfaatan micro-data. Melalui pemerintah daerah, pemerintah pusat dapat melakukan pelaporan kebutuhan, assessment kebutuhan domestik, dan pendataan kelompok terdampak melalui RT/RW secara mikro. Warga yang berhak mendapat bantuan dapat langsung melaporkan ke RT/RW setempat. Skema pemanfaatan micro-data secara manual dan real time ini, dapat meminimalisir waktu verifikasi data yang ada di BDT, dan bisa lebih efisien dalam memproyeksikan situasi lapangan secara organik. Dengan proses demikian, penduduk yang membutuhkan bansos dapat lebih cepat ditangani dan proses self-assessment dapat bergulir seiring dengan periode pandemi yang tidak pasti. Kemudian, RT/RW melakukan pengoreksian data yang kemudian diserahkan ke kecamatan, kelurahan, pemerintah kota/kabupaten, dan seterusnya.
Kedua, melakukan integrasi data dengan sektor privat atau pihak swasta. Mempertimbangkan sektor terdampak lebih dominan pada sisi non-formal, seperti: ojek/supir online, penyedia jasa pembersih rumah, makanan online, pijat panggilan, dan industri relevan lainnya, untuk melakukan sinkronisasi data berbasis NIK dengan BDT. Sehingga, perusahaan terdampak dapat menjadi agen pelacakan pekerja yang berada dalam kondisi sulit dan berhak menerima bansos.
Lantaran koordinasi pemerintah pusat dan daerah kerap bertubrukan, mekanisme bottom-up tersebut cenderung lebih pragmatis dalam situasi darurat. Pengoptimalan micro-data melalui perangkat kelurahan dan sektor privat mampu menanggulangi kelemahan dan meminimalisir simpang-siur data BDT atau DTKS yang ada.
Dengan demikian, kelompok penerima manfaat yang tidak ada dalam jangkauan pendataan dapat secara pro-aktif melaporkan kondisinya (self-reporting) dan segera mendapat akses ke bansos. Konsekuensinya, pemerintah harus melonggarkan prosedur penerimaan bansos, fleksibel dan situasional dalam penerapannya di lapangan.
[.]